Moralitas Wartawan Antara Idealita dan Realita
Oku Timur – Sumsel, Detectivenews.id– MEMAKNAI idealita pada hakikatnya mudah. Idealita itu memiliki makna ‘apa yang seharusnya didapatkan/diperoleh’. Wartawan dituntut mengembangkan profesi jurnalistiknya untuk mencerdaskan bangsa. Moralitas merupakan keseluruhan norma-norma, nilai-nilai dan sikap seseorang atau masyarakat. Moralitas adalah sikap hati yang terungkap dalam perbuatan lahiriah. Moralitas terdapat apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan ia mencari keuntungan.
Disamping itu, tugas wartawan dan media tidak sebatas berperan sebagai penyampai informasi kepada masayarakat semata, tetapi lebih dari itu, wartawan dituntut sesuai dengan moral (etika) jurnalistiknya dapat melahirkan berita-berita yang mampu membuat masyarakat memahami dan mengambil pelajaran yang berguna dari berita yang dipublikasikan.
Moralitas Wartawan
Moral adalah sikap dan perilaku ideal berdasarkan pertimbangan akal yang dimiliki manusia. Hanya moral yang baik dan keberhati-hatian yang dapat menolong seorang wartawan dalam urusan ini. Seorang wartawan tidak akan menguraikan secara detail keadaan seorang korban pemerkosaan, yang mengalami trauma yang sangat memilukan, seandainya ia sadar bahwa deskripsi tentang keadaan korban akan menyebabkan pembaca dihantui rasa kecewa, marah, sehingga terganggu secara psikologis, atau tertusuk nurani kemanusiaannya.
Moralitas dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun. Dalam batasan pengertian tersebut, maka moral bisa untuk dimensi duniawi dan bisa untuk ukhrawi. Rasa tanggung jawab para wartawan muslim kepada Allah dan kepada masyarakat merupakan suatu kewajiban. Firman Allah dalam surat An-Nahlu ayat 125, Artinya, “Ajaklah kepada jalan Tuhannya dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan penerangan yang baik dan berdiskusilah dengan cara yang lebih baik,
Peran wartawan yang dianggap sebagai penyampai informasi lewat tulisan, harus mengedepankan moral kewartawanannya secara benar sesuai dengan yang diamanahkan oleh kode etik jurnalistik itu sendiri. Disamping itu, wartawan yang juga sebagai agen perubahan sosial (agent of social change) berkewajiban melakukan perubahan perilaku sosial masyarakat menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Nilai-nilai profesional bagi wartawan sebagaimana tercantum dalam setiap kode etik pers adalah akurasi, objektivitas, dan keseimbangan. Media cetak memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi sekaligus merubah pola pikir, sikap dan perilaku publik. Karenanya, media selain berfungsi menyiarkan informasi, media juga berfungsi mendidik, mengajak, dan menyajikan ruang ilmu pengetahuan bagi pembacanya. Bahkan, peranan media sebagai sarana komunikasi, sangat menentukan perubahan moral dan watak masyarakat.
Syamsul Arifin S.Sos adalah pempinan umum Redaksi Media Cetak dan Online Detectivenews.id, menyebutkan, “jatuhnya jarum ke tumpukan jerami atau kutu menggigit kepala bocah yang jarang keramas. Kedua contoh itu peristiwa. Sama halnya dengan seorang petani yang jengkel gara-gara tanah yang dicangkulnya berbatu cadas, sehingga paculnya patah, itu juga peristiwa. Tetapi apakah semua itu cukup bernilai dan membuat pembaca tertarik?.
Untuk itu, seorang wartawan harus memiliki naluri yang kuat untuk memilih dan memastikan mana peristiwa yang layak diberitakan, mana pula yang tidak. Untuk memastikan layak tidaknya, maka news value (nilai berita) lah, tegas Syamsul Arifin S.Sos yang menjadi indikatornya.
Di zaman kemajuan informasi dan teknologi sekarang ini, idealita dan realita tidak bisa ‘diceraikan’, karena kedua kata itu memiliki kesamaan dan kepentingan dengan wartawan. Menyampaikan informasi yang sesuai dengan idealita dan realita haruslah berimbang (balanced), atau melaporkan kedua sisi mata uang (cover both sides). Jika ada dua pihak yang berbeda pendapat atau berbeda dalam memberikan keterangan, kedua-duanya haruslah diberi tempat pada berita yang sama.
Kalau ada pertikaian antara warga yang tanahnya kena gusur dengan pemerintah kota yang menggusur mereka, pendapat atau keterangan kedua pihak hendaknya diceritakan secara bersama-sama. Idealisnya, wartawan harus berpegang pada prinsip moral, kode etik wartawan ‘katakan yang benar walaupun pahit’.
Namun, tidak selamanya sebuah laporan dapat memenuhi asas berimbang, seperti yang menjadi tuntutan jurnalisme yang ideal. Jika gagal mendapatkan konfirmasi, wartawan harus menyebutkan bahwa apa yang dinyatakan dalam berita itu belum dikonfirmasikan kepada pihak yang seharusnya memberikan konfirmasi. Pada follow up untuk berita tersebut keterangan hasil konfirmasi itu sudah harus disajikan, walaupun cara seperti itu bukanlah cara yang ideal. (Red)